Rabu, 31 Oktober 2012

Buku Cetak Terancam e-Book?


Ada tiga isu penting yang dibicarakan dalam pertemuan asosiasi penerbitan suratkabar dunia (WAN) di Hong Kong, November lalu, yaitu online and social media, tablet publishing, serta mobile media. Perkembangan teknologi informasi memang menyodorkan tantangan serius yang menyangkut hidup-matinya dunia penerbitan cetak. Tiras penerbitan media cetak cenderung menyusut dan para penerbit media mesti menyusun strategi baru agar perusahaan tetap bisa hidup.

Bagaimana dengan penerbitan buku? Di negara maju, AS terutama, penerbitan buku cetak juga menghadapi tantangan serupa dengan media cetak. Jalur distribusi ke konsumen, seperti toko buku konvensional, menghadapi persoalan. Beberapa toko buku, termasuk Borders yang masyhur, gulung tikar karena pembeli berkurang. Toko-toko buku yang lebih kecil memetik keuntungan dari situasi buruk yang dihadapi oleh Borders. Konsumen lainnya terserap oleh raksasa Amazon.com.

Seperti halnya media cetak, perkembangan teknologi juga mulai mengusik penerbitan buku. Seiring dengan makin nyamannya membaca di iPad atau Kindle, buku elektronik atau e-book pun menanjak pamornya. Para produsen komputer tablet berlomba untuk menciptakan produk yang nyaman bagi mata, mampu menyimpan ribuan judul buku, mudah dibuka halamannya bak membuka halaman buku kertas. Efeknya mulai terasa, setidaknya di AS dan negara-negara Eropa Barat.

Menurut Asosiasi Penerbit Amerika (AAP), per Juni 2011, penjualan buku dewasa dengan kertas koran (paperback) merosot tajam sebesar 63,8% dalam waktu 12 bulan. Diperkirakan, ini setara dengan 85 juta dolar AS. Untuk buku hardcover, penjualannya juga menurun. Walaupun prosentasenya lebih kecil tapi tak kalah mencemaskan, yakni turun 25,4%. Bagaimana dengan e-book? Penjualannya, melalui Kindle, iPad, dan Nook, melonjak sampai 167% atau sekitar 50 juta dolar AS. Woww!

Di Inggris, penjualan Kindle terdongkrak 20% dibandingkan tahun lalu. Kabarnya, Amazon.co.uk telah mampu menjual 242 e-book untuk setiap 100 buku hardcover yang laku. Penurunan penjualan buku di Inggris memang tidak sedrastis di AS, yakni 7,5% selama tiga bulan pertama tahun 2011. Tapi, seperti di AS, penurunan penjualan buku hardcover di Inggris tidak sebanyak paperback. Pembaca buku paperback umumnya beralih ke e-book, sedangkan perpustakaan di negara maju lazimnya lebih suka membeli buku hardcover karena lebih awet.

Bagaimana di Indonesia? Ancaman tablet computer terhadap penerbitan buku cetak memang belum terasa. Penjualan tablet di sini masih rendah lantaran harganya masih dianggap mahal. Mengutip sebuah survey, Tempo pernah menyebutkan penjualan tablet di sini hanya 150 ribu unit, nyaris tak berarti dibandingkan dengan total penjualan di pasar dunia yang mencapai 100 juta unit.

Di sisi lain, pasokan e-book domestik (berbahasa Indonesia) juga sangat terbatas. Penerbit besar seperti Gramedia, Erlangga, dan Mizan belum memasuki wilayah buku elektronik, walaupun dulu Mizan pernah menjajagi pasar dengan menawarkan e-book gratis, bahkan sebelum tablet computer beredar. E-book gratis dalam format pdf ini dibaca di laptop atau desktop. Dua peranti inilah agaknya masih banyak digunakan oleh pembaca e-book di sini. Mereka umumnya memperoleh e-book gratis berbahasa Inggris dari beberapa situs luar negeri.

Jadi, apabila perkembangan penerbitan buku cetak di sini tidak juga mencorong, itu bukan lantaran ancaman e-book, tapi lebih disebabkan oleh struktur industrinya sendiri yang kurang mendukung perkembangannya. Banyak pajak yang membuat penerbit tak mampu mencetak buku dalam jumlah banyak, sementara hanya sedikit penulis yang bisa membangun kehidupan dari royalti menulis buku. Lagi pula, buku belum menjadi menu utama bagi sebagian besar dari masyarakat. ***

(http://blog.tempointeraktif.com/buku/buku-cetak-dalam-ancaman-e-book/)